BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagai umat muslim kita meyakini bahwa tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling besar, dan merupakan salah satu syarat diterimanya amal perbuatan di samping harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah.
Tauhid merupakan kewajiban utama dan pertama yang diperintahkan Allah kepada setiap hamba-Nya. Namun, sangat disayangkan kebanyakan kaum muslimin pada zaman sekarang ini tidak mengerti hakikat dan kedudukan tauhid. Padahal tauhid inilah yang merupakan dasar agama Islam. Oleh karena itu sangatlah urgen bagi kita kaum muslimin untuk mengerti hakikat dan kedudukan tauhid. Hakikat tauhid adalah mengesakan Allah.
Kehidupan yang semakin modern,Teknologi yang semakin canggih dan proses kehidupan yang sekarang cenderung ke-masa kapitalis. Mengharuskan kita memahami dan menerapkan apa arti Tauhid dalam keyakinan kita sebagai umat Islam yang sempurna.[1]
Dari masalah tersebut di atas saya mencoba meneliti apa peran dari tauhid dalam kehidupan sosial sehingga kita dapat menjalankan kehidupan dengan baik.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah yang telah disusun sebelumnya, dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut :
1. Apa Pentingnya tauhid dalam kehidupan sebagai seorang Muslim ?
2. Dengan adanya Tauhid, Manfaat apa yang dapat kita dapat dari Tauhid dalam kehidupan Sosial ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN TAUHID
Secara bahasa tauhid berasal dari kata وَحَّدَ يُوَحِّدُ تَوْحِيْدًا artinya mengesakan, Secara istilah tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk untuk beribadah menyembah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya. Oleh karena itu Allah mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab.
Allah berfirman Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.(QS. Adz-Dzariyat : 56)” selain itu Allah SWT bersabda “ sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. (QS. An-Nisaa’ : 36)”2[2]
Tauhid dibagi menjadi tiga (3):
1. Tauhid Rububiyah
Yaitu mentauhidkan Allah dalam perbuatan-Nya, seperti mencipta, menguasai, memberikan rizki, mengurusi makhluk dll, yang semuanya hanya Allah semata yang mampu. Dan semua orang meyakini adanya Rabb yang menciptakan, menguasai. Kecuali orang atheis yang berkeyakinan tidak adanya Rabb. Di antara penyimpangan yang lain yaitu kaum Zoroaster yang meyakini adanya Pencipta Kebaikan dan Pencipta Kejelekan, hal ini juga bertentangan dengan aqidah yang lurus.
2. Tauhid Uluhiyah
Mentauhidkan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang dilakukan hamba. Yaitu mengikhlaskan ibadah kepada Allah, yang mencakup berbagai macam ibadah seperti : tawakal, nadzar, takut, khosyah, pengharapan, dll. Tauhid inilah yang membedakan umat Islam dengan kaum musyrikin. Jadi seseorang belum cukup untuk mentauhidkan Allah dalam perbuatan-Nya (Tauhid Rububiyah) tanpa menyertainya dengan mengikhlaskan semua ibadah hanya kepada-Nya (Tauhid Uluhiyah). Karena orang musyrikin dulu juga meyakini bahwa Allah yang mencipta dan mengatur, tetapi hal tersebut belum cukup memasukkan mereka ke dalam Islam.
3. Tauhid Asma Wa Sifat
Mengimani dan menetapkan apa yang sudah ditetapkan Allah di dalam Al Quran dan oleh Nabi-Nya di dalam hadits mengenai nama dan sifat Allah tanpa merubah makna, mengingkari, mendeskripsikan bentuk/cara, dan memisalkan. Untuk pembahasan yang lebih lengkap bisa merujuk ke beberapa kitab di antaranya Aqidah Washithiyah, Qowaidul Mutsla, dll.3[3]
B. PERAN TAUHID DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
Ajaran-ajaran pokok tauhid sudah diterapkan oleh Rasulullah Muhammad Saw. dalam kehidupan individual maupun sosial. Dengan ajaran ini, Rasulullah melakukan perubahan di segala bidang, dari tingkat ideologis hingga ke tingkat praktis. Keyakinan akan keesaan Allah membuat Rasulullah dengan tegas melarang praktek mempertuhankan apa pun selain Allah, seperti berhala, kebesaran suku, pemimpin, penguasa; termasuk hawa nafsu dan ego yang ada dalam diri. Keyakinan bahwa hanya Allah tempat bergantung menjadikan Rasulullah memiliki kekuatan moral yang luar biasa dalam melapangkan jalan menuju revolusi sosial, yang dihadang dengan sangat keras oleh para pembesar Quraisy dan suku-suku Arab lainnya. Kebesaran musuh ini tidak membuat Rasulullah gentar, karena dia memiliki tempat bergantung dan bersandar yang jauh lebih kuasa dan perkasa, yakni Allah Yang Maha Agung. Tidak ada ketakutan terhadap kekuatan apa pun selain Allah, dan tidak ada pengharapan apa pun yang patut digantungkan selain kepada Allah.
Pada tataran sosial, kekuatan tauhid pada diri Rasulullah Saw. Membuatnya berani membela mereka yang direndahkan, teraniaya, dan terlemahkan secara struktural dan sistemik (mustadh’afîn), budak, dan anak-anak yang diperlakukan oleh para penguasa dan pembesar masyarakat yang menutupi kezalimannya di balik nama Tuhan.
Dengan demikian, tampak bahwa tauhid tidak sekedar doktrin keagamaan yang statis. Ia adalah energi aktif yang membuat manusia mampu menempatkan Tuhan sebagai Tuhan dan manusia sebagai manusia. Penjiwaan terhadap makna tauhid tidak saja membawa kemaslahatan dan keselamatan individual, melainkan juga melahirkan tatanan masyarakat yang bermoral, santun, manusiawi, bebas dari diskriminasi, ketidakadilan, kezaliman, rasa takut, penindasan individu atau kelompok yang lebih kuat. Itulah yang telah dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw.
Tauhid sebagai sentral dan dasar keyakinan dalam Islam ini menjadi sumber totalitas sikap dan pandangan hidup umat dalam keseluruhan dimensi kehidupan. Pandangan Tauhid yang bersifat menyeluruh ini selain melahirkan keyakinan akan ke-Maha-Esaan Allah (unity of Good head) juga melahirkan konsepsi ketauhidan yang lainnya dalam wujud keyakinan akan kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan pedoman hidup (unity of guidance), dan kesatuan tujuan hidup (unity of tbe purpose of life) umat manusia.
Tauhid merupakan basis seluruh keimanan, norma dan nilai. Tauhid mengandung muatan doktrin yang sentral dan asasi dalam Islam, yaitu memahaesakan Tuhan yang bertolak dari kalimat “La Ilaha Illallah” bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Dengan mengakui bahwa tidak Tuhan selain Allah berarti mengakui Dia sebagai satu-satunya Pencipta, Penguasa dan Hakim dunia. Dari pengakuan ini dapat disimpulkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dengan tujuan. Tujuan tersebut merupakan realisasi dari kehendak Tuhan yang menyangkut dunia yang merupakan panggung kehidupan manusia. Hal ini menuntut seorang muslim untuk menghadapi ruang dan waktu secara serius, karena kebahagiaan atau kecelakaan seseorang terletak pada pemenuhannya atas pola-pola Ilahi yang berkaitan dengan ruang dan waktu dimana dia berada. Tuhan telah memerintahkannya untuk bertindak dengan bekerjasama dengan sesama muslim. Dalam Tauhid, kehidupan seorang muslim selalu berada dalam pengawasan Tuhan. Tuhan mengetahui segala sesuatu dan segala sesuatu dicatat dan diperhitungkan bagi pelakunya, baik berupa kebaikan maupun kejahatan. Kehendak Tuhan adalah benar-benar relevan dan pola-polanya harus dipatuhi. Dengan demikian, tujuan manusia haruslah berupa aktualisasi pola-pola Ilahi di seluruh alam semesta.
Dalam wilayah kepentingan hidup umat manusia, konsepsi tauhid sesungguhnya mempunyai banyak dimensi aktual, salah satunya adalah dimensi pemerdekaan atau pembebasan dari segala macam perbudakan, (tahrirun nas min ‘ibadatil ‘ibad ila ‘ibadatillah.Diharuskannya manusia bertauhid dan dilarangnya menyekutukan Allah yang disebut syirik, bukanlah untuk kepentingan status-quo Tuhan yang memang maha merdeka dari interes-interes semacam itu, tetapi untuk kepentingan manusia itu sendiri. Dengan demikian terjadi proses emansipasi teologis yang sejalan dengan fitrah kekhalifahan manusia di muka bumi. Manusia bukanlah sekadar abdi Allah, tetapi juga khalifah Allah di muka bumi ini. Karenanya, manusia harus dibebaskan dari penjara-penjara thaghut dalam segala macam konsepsi dan perwujudannya, yang membuat manusia menjadi tidak berdaya sebagai khalifah-Nya. Sehingga dengan keyakinan tauhid itu, manusia menjadi tidak akan terjebak pada kecongkakan karena di atas kelebihan dirinya dibandingkan dengan makhluk Tuhan lainnya masih ada kekuasaan Allah Yang Maha segala-galanya. Selain itu, manusia diberi kesadaran yang tinggi akan kekhalifahan dirinya untuk memakmurkan bumi ini yang tidak dapat ditunaikan oleh makhluk Tuhan lainnya sehingga dirinya haruslah bebas atau merdeka dari berbagai penjara kehidupan yang dilambangkan thaghut. Dengan ketundukan kepada Allah sebagai wujud sikap bertauhid dan bebasnya manusia dari penjara thaghut maka hal itu berarti bahwa manusia sungguh menjadi makhluk merdeka di muka bumi, sebuah kemerdekaan yang bertanggungjawab selaku khalifahNya.
Dengan demikian, selain pada aras individual, tauhid memiliki dimensi aktualisasi bermakna pembebasan atau pemerdekaan pada aras kehidupan kolektif dan sistem sosial. Pembebasan Bilal sang hamba sahaya di zaman Rasulullah, adalah simbolisasi dari makna pembebasan struktural sistem sosial jahiliyah oleh sistem sosial yang berlandaskan tauhid. Bilal yang hitam dan hamba sahaya adalah perlambang dari kaum dhu’afa, kaum lemah dan tertindas dalam sistem berjuasi Arab Quraisy. Dengan landasan doktrin tauhid, kelompok dhu’afa dan mustadh’afin ini kemudian dimerdekakan dan diberdayakan, sehingga menjadi duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan kelompok elit atas seperti Abu Bakr as-Shidieq, Usman bin Affan, dan lainnya. Dengan doktrin tauhid inilah kemudian Islam memperkenalkan sistem sosial baru yang berasas kesamaan (musawah), keadilan (‘adalah), dan kemerdekaan (huriyyah).
Karenanya, dengan gagasan tauhid sebagai prinsip tata sosial yang merupakanaktualisasi tauhid ke dalam sistem sosial berbagai aspek kehidupan umat, seyogyanya muncul proses pemberdayaan dan pembebasan umat terutama pada kaum dhu’afa dari berbagai bentuk ekslpoitasi baik pada level individual maupun struktural. Setiap bentuk eksploitasi manusia oleh manusia lainnya dalam berbagai bentuk, bukan hanya bertentangan dengan fitrah dan rasa kemanusiaan, tetapi juga bertentangan dengan kehendak Tuhan dalam menciptakan umat manusia di muka bumi ini. Dengan kata lain, mereka yang benar-benar bertauhid, selalu peka dan terpanggil kesadarannya untuk memerdekakan, membebaskan, dan memberdayakan umat manusia dari segala macam eksploitasi yang membuat kehidupan ini menjadi nista, sekaligus jangan sampai terjangkiti penyakit yang menghancurkan hakikat kemanusiaan ini.4[4]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tauhid sebagai dasar agama dan keimanan maka harus segala dijaga demi terwujudnya tatanan hidup yang baik dan teratur. Dengan demikian, tampak bahwa tauhid tidak sekadar doktrin keagamaan yang statis. Ia adalah energi aktif yang membuat manusia mampu menempatkan Tuhan sebagai Tuhan dan manusia sebagai manusia. Penjiwaan terhadap makna tauhid tidak saja membawa kemaslahatan dan keselamatan individual, melainkan juga melahirkan tatanan masyarakat yang bermoral, santun, manusiawi, bebas dari diskriminasi, ketidakadilan, kezaliman, rasa takut, penindasan individu atau kelompok yang lebih kuat, dan sebagainya. Itulah yang telah dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw.
DAFTAR PUSTAKA
http://muslim.or.id/aqidah/hakekat-tauhid.html
http://fundonesia.com